Friday, 13 April 2018

Wisata Religi Demak ~ Kudus

Demak

Saat mendengar nama kota Demak hal pertama yang muncul di benak kita adalah keberadaan para Sunan Kalijaga, Kesultanan dan Penyebaran agama Islam di tanah air. 

Perjalanan dari Semarang menuju Demak dengan mobil pribadi kira-kira menghabiskan waktu 45 menit hingga 1 jam. Sepanjang pejalanan kita akan menikmati pemandangan pohon-pohin yang ditanam dengan rapi di pingggir jalan serta sedikit ladang pertanian.

Selain itu kita akan menemui ada banyak bangunan masjid yang menunjukkan bahwa pemeluk agama Islam ada cukup banyak di daerah ini. 

Nah sambil menikmati perjanan, yok kita lihat sejarah kota Demak. 
Demak di kenal sebagai kota-nya para tokoh penyebar agama Islam di pulau Jawa, Wali Songo.

Sunan Kalijaga atau Sunan Kalijogo adalah salah seorang dari tokoh Wali Songo yang sangat lekat dengan Muslim di Pulau Jawa, karena kemampuannya memasukkan pengaruh Islam ke dalam tradisi Jawa. Makamnya berada di Kadilangu, Demak.
Sunan Kalijaga diperkirakan lahir pada tahun 1450 dengan nama Raden Said. Dia adalah putra adipati Tuban bernama Tumenggung Wilatikta atau Raden Sahur. Nama lain Sunan Kalijaga antara lain LokajayaSyekh MalayaPangeran Tuban, dan Raden Abdurrahman. Berdasarkan satu versi masyarakat Cirebon, nama Kalijaga berasal dari Desa Kalijaga di Cirebon. Pada saat Sunan Kalijaga berdiam di sana, dia sering berendam di sungai (kali), atau jaga kali.
Jimbun atau Panembahan Jimbun, yang lahir di Palembang 1455, dan wafat di Demak pada tahun 1518 adalah pendiri dan raja Demak pertama dan memerintah tahun 1500-1518. Menurut kronik Tiongkok dari kuil Sam Poo Kong Semarang, dia memiliki nama Tionghoa yaitu Jin Bun tanpa nama marga di depannya, karena hanya ibunya yang berdarah Tionghoa. 

Jin Bun artinya orang kuat. Nama tersebut identik dengan nama Arabnya "Fatah (Patah)" yang berarti kemenangan. Pada masa pemerintahannya Masjid Demak didirikan, dan kemudian ia dimakamkan di sana. Mengikuti pakar Belanda Pigeaud dan De Graaf, sejarahwan Australia M. C. Ricklefts menulis bahwa pendiri Demak adalah seorang Tionghoa Muslim bernama Cek Ko-po (Pate Rodin senior). Ricklefs memperkirakan bahwa anaknya adalah orang yang oleh Tome Pires dalam Suma Oriental-nya dijuluki "Pate Rodim (Adipati/Patih Rodim)", mungkin maksudnya "Badruddin" atau "Kamaruddin" (meninggal sekitar tahun 1504). Putera atau adik Rodim dikenal dengan nama Trenggana (bertahta 1505-1518 dan 1521-1546), pembangun keunggulan Demak atas Jawa.
Kenyataan tokoh Raden Patah berbenturan dengan tokoh Trenggana, raja Demak ketiga, yang memerintah tahun 1521-1546.
Babad Tanah Jawi menyebutkan, Raden Patah menolak menggantikanArya Damar menjadi Adipati Palembang. Ia kabur ke pulau Jawa ditemani Raden Kusen. Sesampainya di Jawa, keduanya berguru pada Sunan Ampel  di Surabaya. Raden Kusen kemudian mengabdi ke Majapahit, sedangkan Raden Patah pindah ke Jawa Tengah membuka hutan Glagahwangi menjadi sebuah pesantren.
Makin lama Pesantren Glagahwangi semakin maju. Brawijaya (alias Bhre Kertabhumi) di Majapahit khawatir kalau Raden Patah berniat memberontak. Raden Kusen yang kala itu sudah diangkat menjadi Adipati Terung diperintah untuk memanggil Raden Patah.
Raden Kusen menghadapkan Raden Patah ke Majapahit. Brawijaya (diidentifikasi sebagai Brawijaya V) merasa terkesan dan akhirnya mau mengakui Raden Patah sebagai putranya. Raden Patah pun diangkat sebagai bupati, sedangkan Glagahwangi diganti nama menjadi Demak, dengan ibu kota bernama Bintara.


Masjid Agung Demak


Masjid Agung Demak adalah salah satu masjid tertua yang ada di Indonesia. Masjid ini terletak di Kampung Kauman, Kelurahan Bintoro Kecamatan Demak, Kabupaten Demak, Jawa Tengah.  

Masjid ini dipercayai pernah menjadi tempat berkumpulnya para ulama (wali) yang menyebarkan agama Islam di tanah Jawa yang disebut dengan Walisongo. Pendiri masjid ini diperkirakan adalah Radeh Patah h, yaitu raja pertama dari Kesultanan Demak sekitar abad ke-15 Masehi.
Raden Patah bersama Wali Songo mendirikan masjid yang karismatik ini dengan memberi gambar serupa bulus. Ini merupakan candra sengkala memet, dengan arti Sarira Sunyi Kiblating Gusti yang bermakna tahun 1401 Saka. Gambar bulus terdiri atas kepala yang berarti angka 1 (satu), 4 kaki berarti angka 4 (empat), badan bulus berarti angka 0 (nol), ekor bulus berarti angka 1 (satu). Dari simbol ini diperkirakan Masjid Agung Demak berdiri pada tahun 1401 Saka. Masjid ini didirikan pada tanggal 1 Shofar.

Masjid ini mempunyai bangunan-bangunan induk dan serambi. Bangunan induk memiliki empat tiang utama yang disebut saka guru. Salah satu dari tiang utama tersebut konon berasal dari serpihan-serpihan kayu, sehingga dinamai saka tatal

Bangunan serambi merupakan bangunan terbuka. Atapnya berbentuk limas yang ditopang delapan tiang yang disebut Saka Majapahit. Atap limas Masjid terdiri dari tiga bagian yang menggambarkan ; (1) Iman, (2) Islam, dan (3) Ihsan. 
Di Masjid ini juga terdapat “Pintu Bledeg”, mengandung candra sengkala, yang dapat dibaca Naga Mulat Salira Wani, dengan makna tahun 1388 Saka atau 1466 M, atau 887 H.
Di dalam lokasi kompleks Masjid Agung Demak, terdapat beberapa makam raja-raja Kesultanan Demak termasuk di antaranya adalah Sultan Fattah yang merupakan raja pertama kasultanan demak dan para abdinya. Di kompleks ini juga terdapat Museum Masjid Agung Demak, yang berisi berbagai hal mengenai riwayat Masjid Agung Demak.


Kudus

Sekarang kita lanjut jalan-jalan di Jawa Tengah ke Kudus, yang dapat ditempuh sekitar setengah jam hingga 1 jam dari Demak. Seperti hal perjalanan dari Semarang menuju Demak, maka nuansa perjalana dari Demak ke Kudus juga hampir sama. Jalan yang dihiasi pohon-pohonan, dan ada banyak bangunan masjid yang terlihat dari jalanan.

Objek wisata yang kita kunjungi di sini adalah Masjid Menara Kudus. 

Masjid Menara Kudus yang disebut juga dengan Masjid Al Manar dengan nama resmi: Masjid Al Aqsa Manarat Qudus adalah masjid kuno yang dibangun oleh Sunan Kudus sejak tahun 1549 Masehi (956 Hijriah). Lokasi saat ini berada di Desa Kauman, Kudus, Jawa Tengah. Ada keunikan dari masjid ini karena memiliki menara yang serupa bangunan candi serta pola arsitektur yang memadukan konsep budaya Islam dengan budaya Hindu-Buddha sehingga menunjukkan terjadinya proses alkulturasi dalam pengislaman Jawa.

Sehari-hari, peziarah berkunjung ke masjid ini untuk beribadah sekaligus ziarah ke makam Sunan Kudus yang terletak di sisi barat kompleks masjid. Selain itu, masjid ini menjadi pusat keramaian pada Festival Dhandhangan yang diadakan warga Kudus untuk menyambut bulan suci Ramadhan.
Berdirinya Masjid Menara Kudus tidak terlepas dari peran Sunan Kudus sebagai penggagas dan pendiri. Sebagaimana Walisongo yang lainnya, Sunan Kudus menggunakan pendekatan kultural (budaya) dalam berdakwah. Ia mengadaptasi dan melakukan pribumisasi ajaran Islam di tengah masyarakat yang telah memiliki budaya mapan dalam pengaruh agama Hindu dan Buddha. Akulturasi budaya Hindu dan Budha dalam dakwah Islam yang dilakukan Sunan Kudus terlihat jelas pada arsitektur dan konsep bangunan Masjid Menara Kudus.
Masjid ini mulai didirikan pada tahun 956 H atau 1549 M. Hal ini didasarkan pada inskripsi berbahasa Arab yang tertulis pada prasasti batu berukuran lebar 30 cm dan panjang 46 cm yang terletak pada mihrab masjid. Peletakan batu pertama menggunakan batu dari Baitul Maqdis di Palestina, oleh karena itu masjid ini kemudian dinamakan Masjid Al Aqsha.

Menara Kudus memiliki ketinggian 18 meter dengan bagian dasar berukuran 10 x 10 m. Di sekeliling bangunan dihias dengan piring-piring bergambar yang kesemuanya berjumlah 32 buah. Dua puluh buah di antaranya berwarna biru serta berlukiskan masjid, manusia dengan unta dan pohon kurma. Sementara itu, 12 buah lainnya berwarna merah putih berlukiskan kembang. Di dalam menara terdapat tangga yang terbuat dari kayu jati yang mungkin dibuat pada tahun 1895 M. Bangunan dan hiasannya jelas menunjukkan adanya hubungan dengan kesenian Hindu Jawa karena bangunan Menara Kudus itu terdiri dari 3 bagian: (1) kaki, (2) badan, dan (3) puncak bangunan. Menara ini dihiasi pula antefiks(hiasan yang menyerupai bukit kecil).
Kaki dan badan menara dibangun dan diukir dengan tradisi Jawa-Hindu, termasuk motifnya. Ciri lainnya bisa dilihat pada penggunaan material batu bata yang dipasang tanpa perekat semen. Teknik konstruksi tradisional Jawa juga dapat dilihat pada bagian kepala menara yang berbentuk suatu bangunan berkonstruksi kayu jati dengan empat batang saka guru yang menopang dua tumpuk atap tajug.
Pada bagian puncak atap tajug terdapat semacam mustaka (kepala) seperti pada puncak atap tumpang bangunan utama masjid-masjid tradisional di Jawa yang jelas merujuk pada unsur arsitektur Jawa-Hindu.

Tuesday, 3 April 2018

Exploring Semarang, Central Java

Semarang di Jawa Tengah merupakan salah satu destinasi yang cocok dikunjungi baik bagi wisata keluarga, kelompok maupun individu.

Mudahnya akses menuju Semarang setelah selesainya pembangunan jalan tol Cipali membuat banyak warga ibu kota dan sekitarnya berkunjung ke Semarang. Perjalanan dengan kendaraan pribadi dari Jakarta menuju Semarang kini dapat ditempuh dengan sekitar 9 ~12 jam (karena di beberapa titik masih ada kemacetan...Maret 2018) seperti di sekitar Karawang, Tegal dll. Namun ini sudah jauh lebih baik daripada sebelum adanya jalan tol Cipali. 

Perlu diingat, ketika anda berkendara lewat jalan tol, kartu tol harus memiliki saldo yang cukup, sekitar 150 rupiah sekali jalan dari Jakarta. Kalo kebetulan lupa isi ulang, jangan khawatir karena sepanjang jalan ada beberapa rest area dimana terdapat convenient store yang menyediakan layanan isi ulang (top up).


Ada beberapa ruas Jalan Tol yang bakal dilalui dari Jakarta hingga Semarang. Dimulai dari Jalan Tol Jakarta-Cikampek 73 km, Cikopo-Palimanan (Cipali) sepanjang 116 km, Palimanan-Kanci sepanjang 28,8 km dan Kanci-Pejagan sepanjang 35 km.

Sekarang yok kita jalan-jalan di sekitar kota Semarang.


1. Lang Sewu



Lawang Sewu ato seribu pintu merupakan gedung gedung bersejarah berlokasi di jalan Pandanaran dekat bundaran Tugu Muda yang dahulu
disebut Wilhelminaplein, Kota Semarang, Jawa Tengah. Bangunan ini dulunya merupakan kantor dari Nederlands-Indische Spoorweg Maatschappij. Dibangun pada tahun 1904 dan selesai pada tahun 1907

Masyarakat setempat menyebutnya Lawang Sewu karena bangunan tersebut memiliki pintu yang sangat banyak, meskipun kenyataannya, jumlah pintunya tidak mencapai seribu. Bangunan ini memiliki banyak jendela yang tinggi dan lebar, sehingga masyarakat sering menganggapnya sebagai pintu (lawang).
Bangunan kuno dan megah berlantai dua ini setelah kemerdekaan dipakai sebagai kantor Djawatan Kereta Api Repoeblik Indonesia (DKARI) atau sekarang PT Kereta Api Indonesia

Selain itu pernah dipakai sebagai Kantor Badan Prasarana Komando Daerah Militer Kodam IV/Diponegoro dan Kantor Wilayah (Kanwil) Kementerian Perhubungan  Jawa Tengah. Pada masa perjuangan gedung ini memiliki catatan sejarah tersendiri yaitu ketika berlangsung peristiwa Pertempuran lima hari di Semarang (14 Oktober - 19 Oktober 1945). 
Gedung tua ini menjadi lokasi pertempuran yang hebat antara pemuda AMKA atau Angkatan Muda Kereta Api melawan Kempetai dan Kidobutai, Jepang. Maka dari itu Pemerintah Kota Semarang dengan Surat Keputusan Wali Kota Nomor. 650/50/1992, memasukan Lawang Sewu sebagai salah satu dari 102 bangunan kuno atau bersejarah di Kota Semarang yang patut dilindungi.
Untuk menuju tempat ini, dari Simpang Lima anda ambil Jalan Pandanaran jalan terus hingga bundaran Tugu Muda, berputar setengah bundaran maka anda akan melihat Lawang Sewu di sebelah kiri. Namun perlu dicatat bangunan ini tidak menyediakan tempat parkir, jadi kita harus parkir di dekat gereja yang tidak jauh dari Lawang Sewu (lampu merah lurus). Untuk menikmati bangunan tua Lawang Sewu kita hanya perlu membayar tiket masuk sebesar 10.000 rupiah untuk dewasa dan 5000 rupiah untuk pelajar. 




2. Simpang Lima 

Simpang Lima Semarang adalah sebuah lapangan yang berada di pusat kota Semarang dijalur nasional. Lapangan ini disebut juga Lapangan Pancasila

Simpang lima merupakan pertemuan dari lima 
jalan yang menyatu, yaitu Jl. PahlawanJl. Pandanaran, Jl. Ahmad Yani, Jl. Gajah Mada dan Jl A Dahlan. 
Di sekitar taman yang mungkin bisa dikatakan mirip taman Monas di Jakarta (untuk fungsinya) berdiri hotel-hotel berbintang dan pusat perbelanjaan. Di antaranya Hotel Ciputra, Hotel Horison, Hotel Graha Santika, Mall Ciputra, E Plaza, Plaza Simpang Lima, Living Plaza, @Hom Hotel, Holiday Inn Expres, Warhol Apartemen dan Condotel.
Lapangan ini merupakan pusat keramaian warga Semarang setiap hari Sabtu-Minggu. Terutama pada hari minggu pagi tempat ini hanya diperuntukkan bagi pejalan kaki dan bersepeda. Pada malam hari kita bisa naik becak-becak hias yang banyak disewakan di sekitar taman ini. Untuk menyewa becak hias anda perlu merogoh kocek sebsar 35-45 ribu rupiah tergantung ukuran dan keindahan hiasannya. 
Simpang Lima dijadikan sebagai pusat Alun-alun Semarang berdasarkan atas usulan Presiden RI pertama kali yaitu Ir. Soekarno dengan alasan Pusat alun-alun yang semula berada di Kawasan Kauman telah beralih fungsi menjadi Pusat Perbelanjaan. Rencana pembangunan Lapangan Pancasila waktu itu dipilih di ujung jalan Oei Tiong Ham (Jalan Pahlawan Semarang). Lapangan Pancasila kemudian dapat terbangun pada tahun 1969.
Saat ini Lapangan Pancasila sudah menjadi landmark kota Semarang merupakan ruang terbuka yang biasa digunakan oleh masyarakat Semarang untuk beraktivitas. Kota Semarang sendiri menjadi identik dengan Simpang Lima, karena pusat kegiatan dan keramaian berada disini.
Lapangan Simpang ini biasanya pada hari Minggu di padati oleh pengunjung yang ingin berolahraga, jalan-jalan, dan aktivitas lainnya.
Apalagi disaat menjelang pergantian tahun, Simpang Lima Semarang menjadi pusat perayaan pergantian Tahun. Biasanya di Simpang Lima Semarang ini diadakan pesta kembang api dan konser musik.
Bagi anda yang suka wisata kuliner, maka daerah Simpang Lima merupakan lokasi yang pas untuk dikunjungi. Disekitar daerah ini ada banyak tempat kuliner baik khas Jawa Tengah maupun daerah lain. Harganya masuk acceptable untuk daerah wisata, soto ayam dibandorol 15-20 ribu rupiah, nasi goreng sekitar 20 -25 ribu rupiah, nasi ayam bakar 20-25 ribu, dll. 

3. Kelenteng Sam Poo Kong
 Kelenteng Gedung Batu Sam Po Kong adalah sebuah petilasan, yaitu bekas tempat persinggahan dan pendaratan pertama seorang Laksamana Tiongkok beragama islam yang bernama Zheng He / Cheng Ho. Terletak di daerah Simongan, sebelah barat daya Kota Semarang, tapatnya di Jl. Simongan No.129, Bongsari.
Tanda yang menunjukan sebagai bekas petilasan yang berciri keislamanan dengan ditemukannya tulisan berbunyi "marilah kita mengheningkan cipta dengan mendengarkan bacaan Al Qur'an".
Disebut Gedung Batu karena bentuknya merupakan sebuah Gua Batu besar yang terletak pada sebuah bukit batu, orang Indonesia keturunan cina menganggap bangunan itu adalah sebuah kelenteng - mengingat bentuknya memiliki arsitektur bangunan cina sehingga mirip sebuah kelenteng. 
Sekarang tempat tersebut dijadikan tempat peringatan dan tempat pemujaan atau bersembahyang serta tempat untuk berziarah. Untuk keperluan tersebut, di dalam gua batu itu diletakan sebuah altar, serta patung-patung Sam Po Tay Djien. Padahal laksamana cheng ho adalah seorang muslim, tetapi oleh mereka di anggap dewa. Hal ini dapat dimaklumi mengingat agama Kong Hu Cu atau Tau menganggap orang yang sudah meninggal dapat memberikan pertolongan kepada mereka.
Menurut cerita, Laksamana Zheng He sedang berlayar melewati laut jawa, namun saat melintasi laut jawa, banyak awak kapalnya yang jatuh sakit, kemudian ia memerintahkan untuk membuang sauh. Kemudian merapat ke pantai utara Semarang untuk berlindung di sebuah Goa dan mendirikan sebuah masjid di tepi pantai yang sekarang telah berubah fungsi menjadi kelenteng. Bangunan itu sekarang telah berada di tengah kota Semarang di akibatkan pantai utara jawa selalu mengalami proses pendangkalan yang di akibatkan adanya proses sedimentasi sehingga lambat-laun daratan akan semakin bertambah luas kearah utara.
Konon, setelah Zheng He meninggalkan tempat tersebut karena ia harus melanjutkan pelayarannya, banyak awak kapalnya yang tinggal di desa Simongan dan menikah dengan penduduk setempat. Mereka bersawah dan berladang di tempat itu. Zheng He memberikan pelajaran bercocok-tanam serta menyebarkan ajaran-ajaran Islam, di Kelenteng ini juga terdapat Makam Seorang Juru Mudi dari Kapal Laksamana Cheng Ho.
Di kompleks kelenteng ini terdapat beberapa bangunan termasuk sebuah patung Laksamana Zheng Ho berukuran cukup besar dan banguna baru kelenteng. Untuk memasuki kompleks patung Laksamana Zheng Ho kita hanya perlu membayar 10 ribu rupiah untuk orang dewasa dan 5 ribu untuk anak-anak. Sementara untuk memasuki kompleks kelenteng kudu perlu bayar 20 ribu rupiah. Bagu anda yang ingin berpose dengan pakaian tradisional ala China, di sini juga ada tempat penyewaan baju. Dengan membayar 160 ribu rupiah anda sudah bisa berpose layaknya orang-orang China.